Program Makanan Gratis bagi Anak Sekolah: Apakah Benar-Benar Efektif Menjawab Tantangan Gizi dan Prestasi?

 

Program Makanan Gratis bagi Anak Sekolah. 

KNEWSCOID, Opini - Saya seorang mahasiswa Doktoral Universitas Hasanuddin yang kesehariannya sebagai Ketua Program Studi Gizi di Institut Teknologi dan Kesehatan (ITEKES) Tri Tunas Nasional. Sembari menilik salah satu program andalan Presiden terpilih Indonesia, yaitu Program Makanan Gratis bagi Anak Sekolah. 


Bahkan, diperiode promosinya dulu, hal ini menjadi bahan diskusi yang merakyat. Beberapa diantaranya bahkan mispersepsi bahwa semua orang akan mendapatkan makanan gratis. Efek berita yang didapatkan hanya melalui ‘percakapan singkat’.


Baru-baru ini, pemerintah merencanakan program makanan gratis bagi anak sekolah dengan tujuan meningkatkan status gizi anak, sekaligus mendongkrak prestasi mereka di sekolah. Secara teori, inisiatif ini tampak sangat menjanjikan. Namun, terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dengan cermat agar tidak hanya menjadi sekedar propaganda yang menghabiskan anggaran besar tanpa dampak nyata. 


Untuk itu, analisis kritis diperlukan, terutama dengan mempertimbangkan kebutuhan gizi anak, kaitannya dengan prestasi, serta efektivitas program dari segi anggaran.


Pertama, anak usia sekolah memang memiliki kebutuhan gizi yang sangat spesifik. Di usia ini, anak membutuhkan protein, zat besi, kalsium, vitamin A, serta berbagai mikronutrien lain untuk mendukung tumbuh kembang optimal serta fungsi kognitif. Ketiadaan gizi yang cukup pada usia ini dapat menyebabkan anemia, stunting, serta gangguan konsentrasi yang berpotensi menghambat perkembangan akademis. Dalam konteks ini, penyediaan makanan bergizi di sekolah tentu dapat mencegah masalah gizi tersebut, sehingga mereka dapat tumbuh sehat dan berprestasi.


Namun, tantangan berikutnya adalah bagaimana memastikan bahwa makanan yang disediakan benar-benar memiliki kualitas gizi yang sesuai. Pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa program makanan gratis sering kali hanya berfokus pada kuantitas, bukan kualitas. Anak-anak memang menerima makanan gratis, tetapi kualitas gizi yang ditawarkan cenderung rendah, penuh kalori, tetapi miskin nutrisi. Akibatnya, tujuan awal program untuk meningkatkan gizi justru meleset. Di Indonesia, pengawasan atas kualitas bahan makanan dan nilai gizi dari program ini akan menjadi sangat krusial agar tidak hanya sekadar “mengenyangkan” perut tanpa memberikan manfaat gizi yang signifikan.


Lebih lanjut, program ini bertujuan untuk meningkatkan prestasi anak, dengan asumsi bahwa anak yang kenyang dan bergizi seimbang akan lebih mudah berkonsentrasi dan belajar dengan baik. Namun, prestasi anak tidak hanya ditentukan oleh makanan, melainkan juga oleh lingkungan sekolah, kualitas pengajaran, serta motivasi anak itu sendiri. Mengandalkan pemberian makanan sebagai satu-satunya solusi dalam meningkatkan prestasi akademik mungkin tidak cukup efektif jika aspek-aspek lain tidak ikut diperhatikan. Di samping itu, ada risiko ketergantungan pada program ini sehingga anak dan keluarga menjadi kurang peduli pada pola makan sehat di luar sekolah.


Salah satu kritik mendasar terhadap program makanan gratis bagi anak sekolah adalah pertimbangan dari sisi anggaran. Program ini akan menyedot biaya yang tidak sedikit, baik untuk biaya bahan makanan, distribusi, hingga pengawasan pelaksanaan. Dalam situasi keuangan negara yang selalu terbatas, alokasi anggaran untuk program ini perlu dievaluasi dengan ketat. Apakah anggaran yang dikeluarkan sepadan dengan manfaat yang dihasilkan? Ataukah anggaran tersebut lebih baik dialihkan untuk program yang lebih langsung berdampak pada pendidikan, seperti peningkatan kualitas guru atau fasilitas belajar? Penggunaan anggaran yang efektif adalah kunci agar program ini benar-benar memberikan manfaat yang signifikan dan berkelanjutan.


Selain itu, mekanisme distribusi makanan juga perlu diperhatikan. Indonesia, dengan keragaman geografis dan kondisi sosial ekonomi yang berbeda-beda, menghadapi tantangan logistik yang tidak sederhana. Distribusi yang tidak merata atau tersendat akan menyebabkan ketimpangan akses di antara anak-anak. Belum lagi, pengawasan di tingkat lokal perlu dijalankan dengan baik untuk memastikan bahwa tidak terjadi penyalahgunaan anggaran, misalnya, dengan menurunkan kualitas bahan pangan atau mengurangi porsi makanan demi keuntungan pihak tertentu.


Dalam analisis saya, program pemberian makanan gratis ini tentunya sangatlah luar biasa. Namun sistem monitoring dan evaluasi yang independen tentu juga akan memberikan penilaian efektifitas program. Dalam jangka panjang, mungkin lebih bijak jika program ini difokuskan pada kelompok yang paling rentan dan membutuhkan, yakni anak-anak dari keluarga miskin dan daerah tertinggal, anak-anak yatim piatu daripada diberikan secara seragam untuk seluruh anak sekolah. Dengan fokus pada kelompok yang benar-benar membutuhkan, program ini akan lebih tepat sasaran, dan alokasi anggaran dapat dikelola lebih efektif. Hal tersebut juga dapat menjadi manifestasi riil pemerintah dalam perwujudan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara." Sudah waktunya pemerintah menunjukkan langkah rill dalam hal tersebut.


Secara keseluruhan, meskipun program makanan gratis bagi anak sekolah memiliki niat yang baik, efektivitasnya perlu dikaji lebih dalam agar tidak sekadar menjadi propaganda belaka. Jika pemerintah serius untuk meningkatkan status gizi dan prestasi anak, program ini harus didukung dengan perencanaan matang, pengawasan ketat, serta evaluasi berkala untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar membawa manfaat nyata bagi anak-anak Indonesia.

Rini Jusriani,SKM.,M.Kes


Penulis: Rini Jusriani,SKM.,M.Kes - Dosen ITEKES Tri Tunas Nasional

0 Comments