OPINI, KNEWS - Sore kemarin, Saya shock membaca pernyataan seorang kepala desa yang secara terang -terangan mempolarisasi warga desa dalam dua bagian. Hal tersebut terkait dengan pembebasan PBB bagi warga sebagaimana tertuang dalam misi pak desa sebelum terpilih.
Konteks kalimat pak desa bunyinya begini: jadi, warga yang mendukungnya dalam pilkades ditempatkan olehnya sebagai warga kelas 1 dan non-pendukung sebagai kelas 2. Sehingga, hanya warga pendukung yang menjadi prioritasnya seperti yg tertuang dalam Pernyataannya di media yang saya baca.
Tentu saja pernyataan si kades ini menyesatkan dan menjadi contoh buruk dalam model pemerintahan di level desa. Sebagaimana kita tahu bahwa demokrasi itu mengajarkan kita tentang sikap setara, lagi pula berkeadilan. Sehingga, lewat kontestasi politik dalam level apa pun, sistem demokrasi yang kita jalankan ini, harusnyalah memang menyediakan kita pemimpin yang dapat dimiliki oleh setiap warga desa serta memiliki ikhtiar melayani siapa pun tanpa melihat kembali pada luka kontestasi, misalnya.
Sikap kepala desa semacam di atas, cenderung gagal paham pada logika demokrasi, sehingga sangat mungkin menciptakan peta konflik di level masyarakat paling bawah. Buktinya, kasus pembunuhan kadus misalnya, kades gagal mengambil langkah atau sikap agar peristiwa tersebut tidak terjadi. Konon, sebelum kejadian ia tahu adanya gejala itu; paling tidak korban telah menyampaikan kepada kades tentang adanya “ancaman” terhadap dirinya.
Lebih jauh, projek pengecoran jalan sebagai penyulut kekerasan yang berujung kematian pada ibu kadus, bagaimana pun juga adalah program kades. Dalam arti kata, kades mengetahui dengan baik proses pengerjaaan projek itu, serta ia juga mengtahui bahwa ada warga yang protes karena merasa mendapat perlakuan tidak adil; karena di kiri kanannya telah mendapat jatah cor sementara dirinya di nomor duakan.
Oleh karena itu, model polarisasi antara pendukung dan non- pendukung, sebagaimana pernyataan si kades perlu segera ditinggalkan. kalau hal tersebut selamanya dirawat maka berapa orang lagi yang akan selamanya merasa didiskriminasi, merasa tidak mendapatkan hak yang sama, merasakan ketidakadilan di depan matanya.
Juga, siapa lagi yang akan merasa terancam hidupnya sebab memiliki pemimpin yang lelet mengambil keputusan bijak. Lambat mengambil kebijakan yang tak memandang latar pemilih.
Perlu di ingat, kepala desa itu adalah Institusi, yang diwakilan kepada subjek (orang) yang terpilih secara demokratis. Sehingga ia bukan semata person yang bisa melakukan hal seenaknya tanpa menimbang konsep konsep Demos dan Kretos.
Penulis : Akbar Poteng
(Pemuda Yang Mencintai Kampung Halamannyalamannya)
0 Comments