Anak Kecil Menggugat Kemerdekaan

               Wardiman Sultan Madir 

OPINI, KNEWS - Lebih baik pulang nama daripada gagal di medan perang merupakan Kalimat semboyang yang sedikit mengambarkan wajah bangsa ini dan 75 tahun Indonesia telah merdeka lalu merah putih berkibar dimana-mana hingga bertebaran ke pelosok negeri.
Syarat hukum yang wajib merasakan kemerdekaan ialah segenap tumpah darah rakyat Indonesia dan tradisi (Pesta Perayaan) yang dianut sejak dulu hingga sekarang masih menjadi dewi di atas segalanya meskipun akses untuk bergerak sudah dibatasi dan diawasi oleh rezim diktator.

Sebagian orang beranggapan bahwa seorang anak kecil adalah simbol ketidaktahuan namun jika ada 2 sosok anak kecil bertanya kepada bapaknya dan anak pertama dengan ingus berwarna hijau yang setia menghiasi wajah bulatnya sedang mempertanyakan "Apa benar kita sudah merdeka atau hanya ilusi semata yang dipaksakan untuk ada?". 

Berkaca pada realita dan melihat dengan mata kepala tentu akan menimbulkan ribuan pertanyaan yang dikemas oleh rasa penasaran. Sebagian manusia hanya bisa mengelus dada yang diurai dengan air mata bahwa kenyataan dalam kebenaran ternyata ada banyak problematika yang tak menemui solusi. 

Sapalah Indonesia dengan sepucuk harapan demi jawaban yang sedikit memuaskan hati "Apa kabar rakyat Indonesia?" dan "Apa kalian sudah merasakan kesejateraan yang sesungguhnya?" ataukah kata sejatera sebagai bahasa yang sejatinya untuk dipahami bagi sang pemilik kekuasaan semata.

Perubahan makna kata MERDEKA di tahun 1945 dan tahun 2020 sangat jauh berbeda. 
Sedikit mengulik kembali bahwa Merdeka merupakan rentetan huruf yang dirangkai dalam satu kata lalu dimaknai sebagai pemantik semangat takkala para pejuang tak menemui titik terang. 
Kata Merdeka itu sendiri disaring dari tetes keringat yang bercampur darah kemudian digemakan ke sanubari untuk menyalakan suluh asa perjuangan. Namun, cukup disayangkan ketika kata merdeka hari ini hanyalah ucapan pemanis di bibir yang tak bermakna sama sekali.

Bhineka tunggal ika didalihkan secara terang-terangan untuk harga mati demi perwujudan Pancasila tetapi naas ketika korupsi kian mengiurkan dan merajalela, penjualan aset negara dibiarkan begitu saja, ajaran islam dikesampingkan, LGBT berjajar rapi dengan kibasan rambut kemenangan, Pemasok barang haram keluar masuk tiada halangan, serta demokrasi buruk tak sebanding harga mati yang ditawarkan secara ketus.

Pondasi kebangsaan telah lama rapuh dan terseok-seok seiring lenyapnya implementasi pada tiap-tiap sila, segala perang batin memuncak, dan masalah kian pelik nan kelik di Bumi Pertiwi. 
Raut wajah ibu Pertiwi tak perlu dilukiskan lagi bahwa wajah yang dulunya indah  memesona kini lesu mengukir sendu kepiluan.
Keadilan yang seharusnya menenangkan ternyata kini hanya menjadi momok menakutkan dan hebatnya lagi segenggam hadiah menarik yang disuguhkan yakni rasa trauma berkepanjangan.

Sekali lagi, anak kedua yang berkepala pelontos tak tinggal diam untuk mempertanyakan jua "Apakah kemerdekaan hanya untuk mereka yang memiliki kekuasaan?" dan "Apakah kemerdekaan akan menjadi cerita dongeng lalu menjelma sebagai cerita pengantar tidur?". 

Maka pertanyaan dari kedua bocah itu, pada akhirnya akan menjadi pukulan telak dan bahkan sejatinya sampai detik ini tiada yang mampu menjawab secara gamblang, runut, dan tuntas. Kekhawatiran mereka sangatlah jelas bahwa hukum tertinggi bukan lagi keadilan melainkan kekuasaan. 

Eeittttsss. Tunggu sebentar, Bukankah mereka adalah bocah perasa dan peka terhadap keadaan di negerinya?.
Apa kabar kalian yang masih sibuk bercumbu dalam nikmatnya dunia keapatisan?

Ketika, Najwa Shihab bertemu Indonesia di skala sektor dan ia bernarasi " Aku, bertemu Indonesia dalam buku dari tiap lembar ke lembarnya kemudian berkisah betapa besar sebuah bangsa dan kisah yang disuguhkan lalu Aku, berjumpa Indonesia dalam suasan yang tak asin yakni saling mendahului, saling melangkahi dan suatu pemandangan ketika memberi dan peduli masih menjadi adat kebiasaan". 

Seakan tak ingin ditenggelamkan oleh narasi tante Najwa Shihab yang super aduhai maka kedua bocah itu ikut serta bernarasi sebagaimana pertemuan mereka dengan Indonesia  "Kami, bertemu Indonesia disaat ibu pertiwi terisak tangis dalam sendunya kemudian Kami berjumpa Indonesia takkala ibu pertiwi sedang memegani telapak tanganya yang terluka, dan Kami, berpapasan dengan Indonesia ketika Ibu Pertiwi telah kehilangan suara merdunya yang tak pernah nyaring lagi terdengar di Nusantara".

Kata mereka yang ingin melihat Indonesia pecah dan hancur berkeping-keping bagai cermin "Sudahlah, Banyak bicara hanya menguras energimu saja dan engkau asal berbicara kawan".
Akan tetapi Mereka tak sadar diri bahwa yang sok tahu dan sikap masa bodoh terhadap bangsa, tentu pada hakikatnya mereka adalah para antek penjajah di Era Modern, sebagai budak nafsu kepentingan, dan sejatinya hanya dijadikan boneka mainan di negeri sendiri. 

Sudah sepantasnya Rakyat Indonesia berani menyuarakan hak sebagai konseptor dan eksekutor sejati bagi warga negara yang menjunjung tinggi Pancasila sebagai falsafah dasar dalam bernegara.

Sesekali, cobalah diingat-ingat kembali hiasan kata-kata para pejuang terdahulu yang menyuarakan hak atas dasar kemanusian yakni "Apabila usul ditolak tanpa ditimbang.
Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan. 
dituduh subversif dan mengganggu keamanan Maka hanya ada satu kata: LAWAN.

Sampaikan kepada anak bangsa bahwa Ibu Pertiwi sedang sekarat dan marwah kemerdekaan saat ini benar-benar dipertaruhkan.
Aku dan Kamu serta Kalian masih mempertahankan keutuhan tubuh sang pemilik negeri ini yang perlahan-lahan dikikis oleh luka dan duka.

Penulis : Wardiman Sultan Madir 
( Dewan Pembina IMPERA )

*Tulisan tanggung jawab penuh penulis *

0 Comments